Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme
struktural adalah
sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara
keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi
umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang
bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk
menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik,
dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif."
Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap
tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
Asumsi dasar
Teori
fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran
structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ
yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau
konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya
dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya
berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi
oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai
analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan
membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga
akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism,
dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak
analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam
kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat
adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang
dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing –
masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi
satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan
merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim
dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,
antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari
Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat
adalah:
1.
Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
- Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber
mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam
menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
Perkembangan Teori Struktural Fungsional
Hingga
pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif
sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton
dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori
yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas
pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan
fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The
Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun
teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori
sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi
dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit,
tapi kepada elemen-elemen di dalamnya yang secara analitis dapat dipisahkan
dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan
dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan
segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan
cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan
kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini
terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam
analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam
bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail
empiris.
Sistem tindakan
diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa
terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal
Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika
memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System,
Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan
nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif,
chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab
terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral.
Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan
olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum
sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut
terhadap seorang aktor.
Karya Parson
dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan
tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada
tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson
akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis
ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi
manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk
mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan
system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis
ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi
meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa
pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari
structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong
fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson
mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson
mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson
lebih terbatas dan menengah.
Seperti
penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai
tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah
dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut
antara lain:
1. Kesatuan fungsi
masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat
fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam
masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya
level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya
berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih
besar.
- Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
- Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.
Argumentasi
Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut
berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton
mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika.
Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada
organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari
structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure
standard.
Awalnya aliran
fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan,
namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi
dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the
middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih
maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori
taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu
didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa
kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian
dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori
terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku
social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk
membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum
mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku
tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang
diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang
tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi
yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.
The middle
range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja
mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya
sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range
theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan
untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system
social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi,
dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan,
meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk
digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide
yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan
menyambung, artinya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan
yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan,
Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki
lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.
Para stuktural
fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi
dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam
menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif
subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan
motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai
konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau
penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan
konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya.
Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan
fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi
dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat
dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi
kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi
hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi
mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh
Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi
sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa
sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi
positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui
keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.
Dalam
penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan
fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang
tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso
laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa
suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik
oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi
manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan
berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori
tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara
intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun
Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan
dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun
mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya
mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu
berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua
struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem
sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka
jalan bagi perubahan sosial.
Analisi Merton
tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan
sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama
untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai
serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau
kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat
disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara
sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan
tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu
bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya
beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan
anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan
struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat.
Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini
mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis
dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu
berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para
fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini
kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan,
dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur
yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi
kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran
dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor.
Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih
besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur ,
akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur
tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah
merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu
diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku
Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana
struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang
ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis
ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat
menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.
Dari berbagai
penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk
mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan
munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang
pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam
struktural fungsionalisme.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari struktural konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, struktural konflik mulai merebak. Struktural konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari struktural konflik ini. Struktural konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Struktural konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Struktural konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian struktural konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Struktural konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut struktural konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, struktural konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada struktural konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari struktural konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, struktural konflik mulai merebak. Struktural konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari struktural konflik ini. Struktural konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Struktural konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Struktural konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian struktural konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Struktural konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut struktural konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, struktural konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada struktural konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf Dahrendorf.
2. Rumusan Masalah
1.
Apa itu struktural konflik ?
2.
Bagaimana implikasi perspektif struktural konflik dalam
pendidikan ?
3.
Bagaimana kebijaksanaan sosial masyarakat dalam
perspektif struktural konflik ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Definisi Konflik
De Dreu
dan Gelfand (2008) menyatakan bahwa conflict as a process that begins when an
individual or group perceives differences and opposition between itself and
another individual or group about interests and resources, beliefs, values, or
practices that matter to. Dari definisi tersebut tampak bahwa konflik merupakan
proses yang mulai ketika individu atau kelompok mempersepsi terjadinya
perbedaan atau opisisi antara dirinya dengan individu atau kelompok lain
mengenai minat dan sumber daya, keyakinan, nilai atau paktik-praktik lainnya.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai a process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests. Dalam definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi ketika usaha suatu kelompok dihambat oleh kelompok lain sehingga kelompok ini mengalami frustrasi.
Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan bahwa konflik sebagai process that begins when one party perceives that another party has negatively affected something that the first party cares about. Proses konflik bermula ketika satu partai mempersepsi bahwa partai lain memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement between two or more individuals or groups, with each individual or group trying to gain acceptance of its views or objective over others. Dari pendapat ini Kondalkar melihat bahwa konfil merupakan ketidaksetujuan (disagreement) antara dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk bisa diterima pandangannya atau tujuannya oleh individu atau keompok lain.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai a process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or her interests. Dalam definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi ketika usaha suatu kelompok dihambat oleh kelompok lain sehingga kelompok ini mengalami frustrasi.
Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan bahwa konflik sebagai process that begins when one party perceives that another party has negatively affected something that the first party cares about. Proses konflik bermula ketika satu partai mempersepsi bahwa partai lain memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement between two or more individuals or groups, with each individual or group trying to gain acceptance of its views or objective over others. Dari pendapat ini Kondalkar melihat bahwa konfil merupakan ketidaksetujuan (disagreement) antara dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk bisa diterima pandangannya atau tujuannya oleh individu atau keompok lain.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
2. Faktor Penyebab Konflik
a.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang
unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab
dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan
kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman,
tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu
karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d.
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
3. Jenis-Jenis Konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
a. konflik
antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan
dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
b. Konflik
antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
c. Konflik
kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
d. Koonflik
antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
e. Konflik
antar atau tidak antar agama
f. Konflik
antar politik.
4. Akibat
Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
a.
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok
(ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
b.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
c.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya
rasa dendam, benci, saling curiga dll.
d.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
e.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
f.
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak
akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
g.
Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya
akan menghasilkan percobaan untuk “memenangkan” konflik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
5. Stuktural
Konflik dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan, kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis.
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori klas yaitu “Sejarah peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah sejarah pertikaian dan konflik antar klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi masing-masing terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian menawarkan bahwa masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh tanpa adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan pembebasan, kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis.
Masyarakat Pendidikan Prioritas Kebijakan Strategi
Perencanaan
a.
Konflik dan eksploitasi
b.
Kekuasaan dan kekuatan untuk
c.
Memelihara tertib sosial
d.
Perjuanagan terus menerus antara kelompok dominan dan
subordinat
e.
Pendidikan sebagai kepanjangan kekuatan kelompok
dominan
f.
Memutuskan hubungan antara organisasi /struktur sekolah
dan kekuatan ekonomi
g.
Pendidikan terciptakan terti social yang hirarkis
h.
Pengembagan kesadaran dan perlawanan diajarkan di
sekolah
i.
Ubah struktur sekolah/ kerja/ masyarakat
j.
Bebaskan kurikulum dari ideologi dominas
k.
Kembangkan pendidikan sebagai embebasan
Dalam teori
konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali dan kebijakan,
mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh
ditahun 90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an
kebelakang teryata pendidikan ditentukan o leh status ekonomi para orangtua.
Sehingga paling tidak fakta bahwa teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
6. Kebijaksanaan
Sosial Masyarakat dalam Perspektif Struktural Konflik
Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan.
Keadaan demikian dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, potensi konflik sudah masuk dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan keadaan yang disebut “normal” dalam masyarakat, kualitas hubungan antar masyarakat menurun dan muncul pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Makna kedua adalah telah terjadi konflik laten. Kelompok-kelompok dalam masyarakat berdiri karena adanya pertentangan wacana dan pandangan dalam melihat sebuah isu. Untuk memahami realitas tersebut menarik untuk membawanya dalam bahasan strategi konflik guna merumuskan kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya.
Pruitt and Rubin (2004) menyebutkan adanya lima stategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan konflik, yaitu contending (menyerang),yielding (mengalah), problem solving, withdrawing(menarik diri) dan inaction(diam).
Ketika diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang seharusnya menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas nama keadilan dalam arti sempit ?
Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan kehendak kepada pihak lain, asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang.
Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam sebuah konflik, namun hal tersebut bukan berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh sebuahproblem solving yang lebih menguntungkan bagi semua pihak.
Withdrawing daninaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat permanen, sementara yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam kasus distribusi bantuan, mereka yang mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu secara material maupun intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk berjuang melalui caracontending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual lebih baik. Apalagi secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik diri atau diam juga bukan merupakan pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka terima.
Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak berjalan dengan adil bagi mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan diatas pada akhirnya memaksa mereka untuk menerima keputusan yang “adil” untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya gejolak laten yang muncul di masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan yang muncul selama ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategicontending dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan penerima bantuan yang seharusnya.
Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam kasus distribusi bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena terdapat disparitas dalam kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh adalah secara bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari banyaknya konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap gejolak yang terjadi hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil. Konflik tidak selalu perlu untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan pengelolaan/managemen konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi masyarakat.
Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran. Hal tersebut dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah perubahan pandangan terhadap nilai-nilai keadilan dan memunculkan sifat anti kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung tinggi oleh masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan.
Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.
Upaya-upaya masyarakat dalam meredam benturan di dalam masyarakatnya seringkali dihargai sebagai sebuah kebijaksanaan yang harus dihargai. Seringkali muncul asumsi bahwa di dalam setiap kebijaksanaan yang dibuat terdapat nilai-nilai gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat dan oleh karenanya hal tersebut selayaknya dilestarikan. Namun tersirat, di dalam dinamika kehidupan masyarakat seringkali ditemui fakta adanya gurat-gurat kekecewaan dari mereka yang terpangkas hak-haknya. Meski secara realita tidak menunjukkan adanya sebuah masalah, namun dalam realita seringkali muncul lisan yang menyinggung ketidakpuasan terhadap apa yang diperoleh. Kondisi tersebut menempatkan mereka berada dalam posisi berlawanan, berhadap-hadapan dengan konsensus masyarakat secara keseluruhan.
Keadaan demikian dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, potensi konflik sudah masuk dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan keadaan yang disebut “normal” dalam masyarakat, kualitas hubungan antar masyarakat menurun dan muncul pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat. Makna kedua adalah telah terjadi konflik laten. Kelompok-kelompok dalam masyarakat berdiri karena adanya pertentangan wacana dan pandangan dalam melihat sebuah isu. Untuk memahami realitas tersebut menarik untuk membawanya dalam bahasan strategi konflik guna merumuskan kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya.
Pruitt and Rubin (2004) menyebutkan adanya lima stategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan konflik, yaitu contending (menyerang),yielding (mengalah), problem solving, withdrawing(menarik diri) dan inaction(diam).
Ketika diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang seharusnya menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas nama keadilan dalam arti sempit ?
Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan kehendak kepada pihak lain, asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang.
Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam sebuah konflik, namun hal tersebut bukan berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh sebuahproblem solving yang lebih menguntungkan bagi semua pihak.
Withdrawing daninaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat permanen, sementara yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam kasus distribusi bantuan, mereka yang mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu secara material maupun intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk berjuang melalui caracontending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual lebih baik. Apalagi secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik diri atau diam juga bukan merupakan pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka terima.
Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak berjalan dengan adil bagi mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan diatas pada akhirnya memaksa mereka untuk menerima keputusan yang “adil” untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya gejolak laten yang muncul di masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan yang muncul selama ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategicontending dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan penerima bantuan yang seharusnya.
Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam kasus distribusi bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena terdapat disparitas dalam kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh adalah secara bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari banyaknya konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap gejolak yang terjadi hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil. Konflik tidak selalu perlu untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan pengelolaan/managemen konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi masyarakat.
Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran. Hal tersebut dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan pada hasil yang ingin dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah perubahan pandangan terhadap nilai-nilai keadilan dan memunculkan sifat anti kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung tinggi oleh masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses tersebut harus bersifat tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa menghilangkan prinsip hukum untuk keadilan.
Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya komunikasi rutin, diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog yang mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
Kurikulum tersembunyi
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kurikulum
tersembunyi atau kurikulum
terselubung, secara umum dapat dideskripsikan sebagai “hasil (sampingan)
dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari
tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan”. [1] Beragam
definisi lain telah dikembangkan berdasarkan pada perspektif yang luas dari
mereka yang mempelajari peristiwa ini. Segala bentuk pendidikan, termasuk
aktivitas rekreasional dan sosial tradisional, dapat mengajarkan bahan-bahan
pelajaran yang sebetulnya tak sengaja karena bukan berhubungan dengan sekolah
tetapi dengan pengalaman belajar.[1] Tetapi
umumnya, kurikulum tersembunyi mengacu pada berbagai jenis pengetahuan yang
diperoleh dalam sekolah dasar dan menengah, biasanya
dengan suatu konotasi negatif yang mengacu pada ketidaksamaan yang muncul
sebagai akibat hal tersebut. Sikap ini berasal dari komitmen sistem sekolah
yang mempromosikan demokrasi dan memastikan
pengembangan kecerdasan yang sama. Sasaran tersebut dihalangi oleh pelajaran-pelajaran yang tak
terukur ini.[2]. Dalam konteks
ini, kurikulum tersembunyi disebut sebagai memperkuat ketidaksamaan sosial
dengan mendidik siswa dalam berbagai persoalan dan perilaku menurut kelas dan
status sosial mereka. Sama halnya seperti adanya ketidaksamaan distribusi modal
budaya di masyarakat, berupa distribusi yang berhubungan dalam pengetahuan di
antara para siswa.[3] Kurikulum
tersembunyi juga dapat merujuk pada transmisi norma, nilai, dan kepercayaan yang
disampaikan baik dalam isi pendidikan formal dan interaksi sosial di dalam
sekolah-sekolah ini.[4] Kurikulum
tersembunyi sukar untuk didefinisikan secara eksplisit karena berbeda-beda
antar siswa dan pengalamannya serta karena kurikulum itu selalu berubah-ubah
seiring berkembangnya pengetahuan dan keyakinan masyarakat.
Konsep
kurikulum tersembunyi terkespresikan dalam gagasan bahwa sekolah melakukan
lebih dari sekedar menyebarkan pengetahuan, seperti tercantum dalam kurikulum resmi. Di
balik itu terdapat berbagai kritik tentang implikasi sosial, landasan politik,
dan hasil budaya dari aktivitas pendidikan modern. Sementara penelaahan awal
berkaitan dengan identifikasi faham anti-demokratis dari sekolah, penelitian
lain telah memperhatikan permasalahan berbeda, termasuk masalah sosialisme, kapitalisme, dan anarkisme dalam
pendidikan.
Daftar
isi
|
Saat
mempertimbangkan implikasi sosial dari kurikulum tersembunyi, perlu diingat
bahwa kontrol sosial adalah perhatian utama dari para penemu kurikulum
pendidikan. Para peneliti awal di bidang ini dipengaruhi oleh pendapat bahwa
pelestarian keistimewaan, minat, dan pengetahuan sosial dari suatu kelompok
dalam populasi membuat perlunya eksploitasi kelompok lain yang kurang kuat.[5] Seiring
berlalunya waktu, teori ini menjadi kurang terperhatikan, tapi warna yang
mendasarinya masih menjadi faktor yang berkontribusi terhadap permasalahan
dalam kurikulum tersembunyi.
Beberapa teori
pendidikan telah dikembangkan untuk membantu memberi makna dan struktur
terhadap kurikulum tersembunyi dan untuk mengilustrasikan peran sekolah dalam sosialisasi. Tiga dari teori-teori tersebut, seperti dikemukakan oleh Henry Giroux dan
Anthony Penna, adalah pandangan struktural-fungsional terhadap sekolah,
pandangan fenomenologis yang berhubungan dengan sosiologi pendidikan yang baru,
dan pandangan kritis radikal yang berhubungan dengan analisis neo-Marxist
terhadap teori dan praktik pendidikan. Pandangan struktural-fungsional
memusatkan diri pada bagaimana norma dan nilai diterapkan dalam sekolah dan
seberapa penting hal tersebut bagi keberfungsian masyarakat telah diterima
secara penuh. Pandangan fenomenologis berpendapat bahwa makna dibentuk melalui
pertemuan dan interaksi sosial, dan berimplikasi pada pendapat bahwa
pengetahuan adalah objektif. Pandangan radikal kritis mengenali hubungan antara
reproduksi ekonomi dan budaya serta menekankan hubungan antara teori, ideologi,
dan praktik belajar sosial. Walau dua teori pertama telah berkontribusi
terhadap analisis kurikulum tersembunyi, pandangan radikal kritis memberikan
wawasan paling luas.[4] Pandangan
tersebut mengakui aspek ekonomis dan sosial dalam pendidikan yang secara jelas
diilustrasikan oleh kurikulum tersembunyi. Selain itu juga mengilustrasikan
signifikansi dari karakteristik abstrak seperti teori dan ideologi yang
membantu mendefinisikan peristiwa ini.
Berbagai aspek
dari belajar berkonstribusi
terhadap keberhasilan kurikulum tersembunyi, termasuk praktik, prosedur,
aturan, hubungan, dan strukturnya.[1] Berbagai
sumber spesifik sekolah, beberapa diantaranya dapat disertakan dalam aspek
belajar ini, menguatkan elemen penting dari kurikulum tersembunyi.
Sumber-sumber ini termasuk struktur sosial dari ruang kelas, latihan otoritas
guru, aturan yang mengatur hubungan antara guru dan siswa, aktivitas belajar
standar, penggunaan bahasa, buku teks, alat bantu audio-visual, berbagai
perkakas, arsitektur, ukuran disiplin, daftar pelajaran, sistem pelacakan, dan
prioritas kurikulum.[1] Keragaman
dalam sumber ini menghasilkan perbedaan yang ditemukan saat membandingkan suatu
kurikulum tersembunyi dihubungkan dengan berbagai kelas dan status sosial.
Sementara
materi aktual yang diserap siswa melalui kurikulum tersembunyi adalah sangat penting,
orang yang menyampaikannya menghasilkan investigasi khusus. Hal tersebut
terjadi terutama pada penyampaian pelajaran sosial dan moral dengan kurikulum
tersembunyi, karena karakteristik moral dan ideologi guru dan figur otoritas
lainnya diterjemahkan dalam pelajaran mereka, walau tidak disadarinya.[6] Pengalaman
belajar yang tidak direncanakan ini dapat dihasilkan tidak hanya dari interaksi
dengan guru tapi juga dengan sesama siswa. Seperti juga interaksi dengan figur
otoritas, interaksi antar sebaya juga dapat menghasilkan teladan moral dan
sosial. Selain itu juga dapat membantu pertukaran informasi sehingga menjadi
sumber yang penting bagi pengetahuan yang berkontribusi terhadap keberhasilan
kurikulum tersembunyi.
Walaupun
kurikulum tersembunyi memberikan sejumlah besar pengetahuan pada siswa,
ketidaksamaan yang diakibatkan kesenjangan antar kelas dan status sosial sering
menimbulkan konotasi negatif. Sebagai contoh, Pierre Bourdieu menegaskan
bahwa modal yang berhubungan dengan pendidikan harus dapat diakses untuk
meningkatkan prestasi akademik. Efektivitas dari sekolah akan menjadi terbatas
bila kapital jenis ini didistribusikan secara tidak merata.[7] Karena
kurikulum tersembunyi dianggap sebagai suatu bentuk modal yang berhubungan
dengan pendidikan, maka kurikulum tersebut menghasilkan ketidakefektifan
sekolah ini sebagai hasil dari ketidakmerataan distribusinya. Sebagai cara dari
kontrol sosial, kurikulum tersembunyi mempromosikan persetujuan terhadap nasib
sosial tanpa meningkatkan penggunaan pertimbangan rasional dan reflektif.[8] Menurut
Elizabeth Vallance, fungsi dari kurikulum tersembunyi mencakup "penanaman
nilai, sosialisasi politis, pelatihan dalam kepatuhan, pengekalan struktur
kelas tradisional-fungsi yang mempunyai karakteristik secara umum seperti kontrol
sosial."[9] Kurikulum
tersembunyi dapat juga diasosiasikan dengan penguatan ketidaksetaraan sosial,
seperti terbukti dalam perkembangan hubungan yang berbeda terhadap modal yang
berdasar pada jenis kerja dan aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang
diterapkan pada siswa jadi berbeda-beda berdasarkan kelas sosialnya.[10]
Walaupun
penelaahan tentang kurikulum tersembunyi kebanyakan dipusatkan pada pendidikan
dasar dan menengah, pendidikan tinggi juga merasakan dampak dari pengetahuan laten ini.
Sebagai contoh bias gender ada dalam mata
kuliah tertentu; kualitas dan pengalaman yang dihubungkan dengan latar belakang
pendidikan menjadi lebih signifikan; serta kelas, gender, dan ras menjadi lebih
nyata dalam pendidikan tinggi.[11] Satu aspek tambahan yang memainkan bagian penting dalam perkembangan siswa
dan nasibnya adalah penelusuran karier. Metoda yang memadukan jalur pendidikan
dan karier pada siswa usia muda ini bersandar pada berbagai faktor seperti
kelas dan status untuk memperkuat perbedaan sosioekonomis. Seiring kemajuan
siswa dalam sistem pendidikan, mereka mengikuti jalur dengan menyelesaikan kursus
yang sudah ditentukan sebelumnya.[12]
John Dewey mengeksplorasi kurikulum tersembunyi dalam penelitiannya di awal abad 20,
khususnya dalam buku klasiknya Democracy and Education. Dewey melihat
pola dan kecenderungan yang berkembang di sekolah yang menyandarkan diri pada
perspektif pro-demokratis. Karyanya tersebut segera dibantah oleh pembuat teori
pendidikan, George Counts, dalam bukunya yang terbit tahun 1929 Dare
the School Build a New Social Order menantang pendapat Dewey. Sementara
Dewey (dan beberapa pembuat teori perkembangan anak lain seperti Jean Piaget, Erik Erikson dan Maria Montessori) mengemukakan hipotesis bahwa
seseorang melalui jalur tunggal dalam menuju kedewasaan, Counts mengungkapkan
hakekat belajar yang reaktif, adaptif, dan multifaset. Hakekat belajar demikian
membuat banyak pendidik mengubah perspektif, praktik, dan penilaian mereka
terhadap tampilan siswa ke arah khusus yang memengaruhi siswa dengan drastis.
Pemeriksaan Count diperluas oleh Charles Beard, dan kemudian, Myles Horton saat
ia membuat apa yang kemudian menjadi Highlander Folk School di
Tennessee.
Frase
"kurikulum tersembunyi" juga dilaporkan pernah diungkap oleh Philip
W. Jackson dalam bukunya Life In Classrooms tahun 1968. Ia mengemukakan
argumen pentingnya pemahaman pendidikan sebagai proses sosialisasi. Segera
setalah tulisan Jackson itu terbit, Benson Snyder mempublikasikan buku The
Hidden Curriculum, yang mengajukan pertanyaan tentang mengapa siswa -
bahkan atau terutama yang berbakat - menjauhi pendidikan. Snyder menyokong
pendapat bahwa kebanyakan konflik kampus dan kecemasan siswa disebabkan oleh
sejumlah norma akademik dan sosial yang tidak dinyatakan, yang menghalangi
kemampuan siswa untuk berkembang secara mandiri atau berpikir secara kreatif.
Kurikulum
tersembunyi lebih jauh dieksplorasi oleh sejumlah pendidik. Dimulai dengan buku
Pedagogy of the Oppressedyang dipublikasikan tahun 1972, sampai ahir
tahun 1990an, saat pendidik dari Brazil, Paulo Freire, yang mengeksplorasi berbagai dampak dari pengajaran terhadap siswa,
sekolah, dan masyarakat secara menyeluruh. Eksplorasinya tersebut sejalan
dengan yang dikemukakan oleh John Holt dan Ivan Illich, yang masing-masing diidentifikasi
sebagai pendidik radikal.
0 komentar:
Posting Komentar