Nama : Teguh
Winarno
NIM : 9321 009
10
Kelas :
Pengertian
Filsafat Pendidikan Islam
Nama : Teguh
Winarno
NIM : 9321 009
10
Kelas :
|
Filsafat
berasal dari kata “philo yang berarti cinta” dan “sophos
yang berarti ilmu atau hikmah”. Jadi filafat berarti “cinta kepada ilmu”.
Secara historis filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan yang
berkembang sejak zaman yunani kuno sampai zaman modern sekarang ini.
Pendidikan
bisa diartikan suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik
menyangkut daya fikir (inteletual) maupun daya perasaan (emosional), menuju
kearah tabiat manusia dan manusia biasa.
Islam
adalah suatu agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dan dipelopori
oleh Muhammad SAW.
Dari
pengertian filsafat, pendidikan dan islam, kita dapat memahami bahwa sebenarnya
kalimat tersebut memiliki kaitan yang sangat erat, sebagaimana yang dikatakan
oleh john
dewey bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat, pendidikan dan
islam. Dalam arti bahwa filsafat pendidikan islam mengkaji tentang berbagai
masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan,seperti manusia sebagai subyek
dan obyek pendidikan,kurikulum,metode,lingkungan,guru,dan sebagainya.Bedanya
dengan filsafat pendidikan pada umumnya adalah bahwa didalam filsafat
pendidikan islam,semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada
ajaran islam yang bersumberkan al-quran da al-hadist.Dengan kata lain bahwa
kata islam yang mengiringi kata filsafat pendidikan itu menjadi sifat,yakni
sifat dari filsafat pendidikan tersebut.
Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan
Pola
dan system berfikir filosofis yang sedemikian akan dilaksakan dalam ruang
lingkup yang menyangkut bidang-bidang sebagai beikut:
·
Cosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalhan yang
berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia
sebagai ciptaan tuhan, serta proses kedaian dan perkembangan hidup manusia di
alam nyata dan sebagainya.
·
Ontology yaitu suatu pemikiran tentang
asal-usul kejadian alam semesta, dari mana dan kearah mana proses kejadiannya.
Pemikiran ontologism akhirnya akan menentukan suatu kekuatan yang menciptakan
alam semesta ini, apakan penciptaan itu satu zat (Monisme) ataukah dua zat
(Dualisme) atau banyak zat (Pluralisme).
·
Philosophy yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan
bagaimana hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebebasan
berkehendak dan manusia (free will).
·
Epistomologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana
sumber pengetahuan manusia di peroleh, apakah dari akal pikiran (aliran rasionalism)
atau dari pengalaman panca indera (aliran empirisme) atau dari ide-ide ( aliran
idealisme) atau dari tuhan (aliran theologisme).
·
Axiology yaitu suatu pemikiran tentang masalah
nilai-nilai termasuk nilai-nilai tinggi dari tuhan. Misalnya nilai moral, nilai
agama, nilai keindahan (aestetika), axiology ini mengandung pengertian lebih
luas dari pada etika atau highervalues of life (nilai-nilai kehidupan yang
bertaraf lebih tinggi).
Perkembangan Pemikiran
Pendidikan Islam
Hasan
Langgulung mengatakan bahwa pendidikan Islam pada akhirnya harus mampu
mengeluarkan dan membentuk manusia Muslim, kenal dengan agama dan Tuhannya,
berakhlak al-Qur’an, tetapi juga mengeluarkan manusia yang mengenal kehidupan,
sanggup menikmati kehidupan yang mulia, dalam masyarkaat yang bebas dan mulia,
sanggup memberi dan membina masyarakat itu, mendorong dan mengembangkan
kehidupan disitu melalui pekerjaan tertentu yang dikuasainya.
Pada
periode klasik yakni pada masa Rasulullah terdiri dari dua periode yaitu makkah
dan madinah. Pada periode makkah, system pendidikan bertumpu pada nabi, bahkan
tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk menyampaikan materi selain nabi. Pada
masa Madinah usaha nabi membangun masjid dan memberikan pengajaran agama islam.
Beliau memperkuat persatuan antara kaum muslimin dan mengkikis habis permusuhan
terutama golongan anshor dan muhajirin. Secara umum materi yang disampaikan
nabi menjadi empat bidang yaitu: pendidikan keaagamaan, akhlak, kesehatan
jasmani dan pengetahuan kemasyarakatan.
Pada
masa bani umayyah hampir sama dengan pendidikan pada masa khulafaurrasyidin.
Perhayian pemerintah pada masa ini pada bidang pendidikan kurang memperlihatkan
perkembangannya. Pada zaman ini juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain kedalam bahasa arab.
Masa
dinasti abasiyyah sangat mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, sehingga
memperlihatkan perkembangannya dalam bidang pendidikan. Lembaga pendidikan ini
dapat di klasifikasikan menjadi tiga:
1. Pendidikan
tingkat rendah, kurikulum yang di ajarkan meliputi: al-qur’an dan menghafalnya,
pokok-pokok agama islam, menulis, kisah orang yang agung, menghafal syair,dll.
2. Pendidikan
tingkat menengah, kurikulum yang di ajarkannya meliputi: al-qur’an, bahasa
arab, sastra fiqih, tafsir, hadits, balaghah,dll.
3. Pendidikan
tingkat tinggi. Pada tingkat ini mempunyai dua fakultas yaitu fakultas ilmu
agama serta bahasa dan sastra arab. Fakultas ini mengkaji seterti tafsir
alqur’qn, nahwu, shorof, dan sastra arab.
Posisi Al –Qur’an dan Hadist
dalam Filsafat Pendidikan Islam.
Filsafat
pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang
berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan
bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan
hukum-hukum Islam. Filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur
yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan
memadukan proses pendidikan. Dengan perkataan lain, filsafat pendidikan Islam
adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis,
radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai
hakikat pendidikan Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist. Selanjutnya
karena pandangan hidup (teologi) seorang muslim berdasarakan Al-Qur’an dan
As-Sunnah, maka yang menjadi dasar atau fundamental dalam pendidikan Islam
adalah Al-Qur’an dan Hadist itu sendiri. Hal yang demikian dilakukan karena
dalam teologi Islam Al-Qur’an dan Sunnah diyakini mengandung kebenaran yang
mutlak yang bersifat transidental, universal dan eternal (abadi), sehingga
secara akhidah diyakini oleh pemeluknya akan sesuai dengan fitrah manusia
artinya memenuhi kebutuhan manusia kapanpun dan dimanapun. Dengan demikian bahwa
posisi Al-Qur’an dan Hadist dalam filsafat pendidikan Islam adalah merupakan
dasar landasan yang fundamental dalam mencari kebenaran atau memikirkan
mengenai hal-hal tang berkaitan dengan Pendidikan Islam.
Hakikat Manusia Menurut Islam
Al-Quran menerangkan bahwa
manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti :
Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad
manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsure kimiawi yang terdapat dari
tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak
menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati
meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat
diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya
dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum. Ayat-ayat yang
menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya dipahami secara
lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari
tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi.
Dalam penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsure sebagai kelengkapan
dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad, ruh, nafs, akal dan
qolb. Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, ruh adalah daya hidup, nafs adalah
jiwa , aqal adalah daya fakir, dan qolb adalah daya rasa. Di samping itu
manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang negatif seperti lemah, suka
berkeluh kesah, suka bernuat zalim dan ingkar, suka membantah, suka melampaui
batas, suka terburu nafsu dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan produk
dari nafs , sedang yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif adalah aqal
dan qolb. Tetapi jika hanya dengan aqal dan qolbu, kecenderungan tersebut belum
sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif. Yang dapat mengendalikan adalah
wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari Allah. Kemampuan seseorang untuk dapat
menetralisasi kecenderungan negatif tersebut (karena tidak mungkin dihilangkan
sama sekali) ditentukan oleh kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan
membudayakan wahyu.
0 komentar:
Posting Komentar