Fenomena Anak Berbakat dan Penanganannya
“Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (Pasal 5, ayat 4).Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya” (pasal 12, ayat 1b).
(Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional)
Siapapun ingin, memiliki buah hati yang berprestasi. Namun pengertian prestasi yang dipahami oleh orang tua kebanyakan hanyalah “nilai raport dengan angka yang tinggi”. Semakin tinggi angkanya, semakin senang mereka. Padahal prestasi yang demikian hanyalah prestasi dibidang akedemis. Tak salah memang mengharapkan anak mendapatkan nilai akedemis yang tinggi. Siapa yang tak bangga bila putra / putrinya mendapat angka 9 untuk pelajaran matematika, atau IPA, dua pelajaran yang menjadi momok di sekolah. Namun sebaiknya kita juga harus fair, sistem pendidikan di
- Generalisir bukan uniquely
Artinya perlakuan yang sama terhadap semua siswa akan memandulkan potensi anak itu sendiri. Seperti anak yang diibaratkan kaos rombeng compang camping, yaitu anak yang kesehariannya sama sekali tidak ada keistimewaaanya, sering jadi “trouble maker”, selalu mendapat nilai jelek, bila terus dipaksakan disablon seperti kaos yang lainnya, maka hasilnya tak akan bagus, malah sebaliknya. Kaos rombeng compang camping, mengapa tidak dijadikan kostum untuk pementasan drama atau musik? Bukankah akan nyata kebermanfaatannya? Begitu pula dengan anak berbakat yang diibaratkan baju safari, bila diperlakukan sama seperti kaos yang lain dengan disablon maka akan merusak baju safari tadi. Kesimpulannya setiap siswa adalah unik, jangan digeneralisir. Proseslah mereka sesuai dengan potensi dan bakatnya masing-masing seharusnya : uniquely bukan generalisir !
2. Pemahaman keliru
Banyak orang dewasa menghargai prestasi anak hanya dari tingginya nilai raport, sebaliknya anak akan kurang mendapat apresiasi bila semua nilai di raportnya jeblok, seakan tidak ada kebanggan di
Solusi
Anak berbakat akan merasa frustasi bila diperlakukan sama dengan anak lainnya, seperti perumpamaan “sablon kaos” di atas. Robert Boyle, bapak ilmu kimia yang menemukan “Hukum Boyle” saja memutuskan untuk keluar SD, karena merasa bosan dan jenuh di sekolah karena dalam banyak hal pemikiran dan kemampuannya di atas teman-temannya, bahkan guru-gurunya pun merasa kewalahan dengan sikap kritisnya. Oleh karenanya harus ada penanganan khusus bagi anak anak berbakat, seperti :
1) Menyiapkan perangkat khusus di sekolah bagi anak berbakat, sehingga tanpa harus dipisahkan dari anak
lainnya, kemampuan dan bakatnya tetap dapat dimaksimalkan
2) Program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat
3) Home-schooling, pendidikan non formal di luar sekolah (Thomas Alva Edison, Hellen Keller, Robert Boyle
adalah siswa home schooling di masanya)
4) Menyiapkan guru yang dapat melakukan pendekatan individual, walau harus mengajar di kelas
konvensional, dilengkapi dengan program sekolah yang jelas sofe ware/hard warenya.
5) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat.
Kelimanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun setidaknya ada usaha untuk tidakterjadi proses pembiaran terhadap para anak berbakat ini, sehingga bakat dan potensinya tidak hilang percuma.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/19/fenomena-anak-berbakat-dan-penanganannya-404769.html
0 komentar:
Posting Komentar