BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Paradigma
Secara bahasa kata
paradigma mengandung arti model, pola skema. Dengan demikian paradigma
merupakan sebuah model atau pola yang terskema dari beberapa unsur yang
tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi
hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan.
Landasan filosofis mengandung arti “ the love for wisdom “
menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of
wisdom -lover of succes - lover of pleasure. Sedangkan acuan pemaknaan
“ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai
daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia
harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat
tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma
terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural,
macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses
mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
Dengan demikian paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat
dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal atau bangsa ) maupun
referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup
yang lebih baik.
Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
B. Paradigma Pendidikan Masa
Depan
Paradigm pendidikan masa depan di sini masih berbentuk paradigma
pendidikan yang bersifat global, dalam artian masih belum jelas isi dari pada
paradigma pendidikan masa depan itu sendiri. Diantara isi dari pada paradigma
pendidikan masa depan adalah Praktek Pendidikan Berwajah
Ke-Indonesia-an, Pendidikan berwawasan global, Tantangan Pengembangan Sekolah
di Masa Depan, dan lain-lain.
Ø Praktek Pendidikan
Berwajah Ke-Indonesia-an
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan
upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupan, yakni
;pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk
mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah
dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat
dengan prinsip-prinsip yang sudah di tetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah,
walaupun memiliki rencana dan program yang jelas, tetapi pelaksanaannya relatif
longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan
baku dan tertulis[2].
Dengan mendasarkan konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya
pendidikan merupakan pembudayaan “enculturation”, suatu proses
untuk mengantarkan seseorang hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi
dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya
masyarakat yang akan menimbulkan penyimpanagan yang dapat muncul dalam berbagai
bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan
keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya
teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat
yang bersangkutan.
Ø Pendidikan Berwawasan
Global
Krisis demi krisis milai dari moneter, ekonomi, politik, dan
kepercayaan yang tengah melanda bangsa indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai
bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi.
Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisai yang akan mewujudkan
masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan
reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan
yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi
secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu,
pendidkan harus dirancang ssedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan
harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala
faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan
kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[3]
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah
informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan
kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita
sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu
global.[4]
Ø Tantangan Pengembangan
Sekolah di Masa Depan
Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju,
khususnya negara-negara yang didunia barat, membuktikan betapa besar peran
pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pemdidikan
merupakan penggerak utama ( prima mover ) bagi pembangunan. Secara fisik
pendidikan didunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari
segala sastra dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari
aspek non fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern,
yang diwujudkan dalam kepercayaan yang tinggi pada “ akal “ dan teknologi,
Memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan
kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk
menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah
terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para
pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar
akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (developped
countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga
mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu
akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai
tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka
pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan
tenaga diarahkan untuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor
pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan
mengirim tenaga domestik ke barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil
amgka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net
enrollment ratio naik, education achievement dari
penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan dikalangan
masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda
“lampu-kuning” pada sistem pendidikan padsa negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk di indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi
muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat
pada anggarn belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar
pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat
sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya
pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan
menjadi “pengikut proses kemajuan”. Mulailah para ahli, khususnya di bidang
pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor
dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia
sedang berkembang.[5]
C. Macam-Macam Paradigma
Pendidikan
Macam-macam
paradigm pendidikan ada empat, yaitu :
1. Konservatisme
Kecenderungan politik bergantung pada sejarah dan
perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan lembaga dan
proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus mentaati
tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga menerima
nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar dan
konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya[6].
2. Liberalisme
· Menekankan cara pemecahan masalah secara
ilmiah
· Tujuannya menuntaskan masalah praktis
· Guru seharusnya memelihara dan memperbaiki
tatanan sosial yang sudah ada
· Murid harus mampu memecahkan masalahnya
sendiri
· Kaum liberal mendahulukan individu dari
pada masyarakat
· Psikologis dikondisikan oleh sosial
· Psikologis adalah basis pembuktian
benar-tidaknya pengetahuan
· Konsekuensi emosional tidak mungkin
dipengaruhi secara kolektif
· Belajar mungkin berlangsung dalam matriks
sosial, tetapi belajar selalu bersifat personal dan pribadi
· Kaum liberal memandang sekolah sebagai lembaga terbuka dan lebih kritis
3. Anarkisme
ü Lembaga pendidikan bekerja sama dengan
proses-proses politis yang memerosotkan individu, sekedar “sekerup” kelompok,
sekedar butiran kepribadian dalam seronce kesosialan.
ü Pemerosotan martabat manusia secara
sistematis.
ü Pendidikan adalah proses belajar lewat
pengalaman sosial.
ü Sekolah mengabaikan tanggung jawab mendidik
siswa secara sejati
4. Fundamentalisme
§ Dalam pendidikan mengambil bentuk gerakan
“kembali ke dasar”
§ Gerakan ini memusatkan pada suatu sasaran
tertentu, seperti mengembalikan pendidikan pada “Tiga R”, yairu Read, Write,
dan Arithmatic
§ Jam sekolah mengutamakan pelajaran bahasa
nasional, sains, matematika, dan sejarah
§ Pendidik harus mengambil peran dominan
§ Pengajaran menggunakan sistem menghapal,
PR, ujian dilaksanakan sesering mungkin
§ Rapor dibagikan sesering mungkin dengan
indeks prestasi
§ Disiplin harus ketat
§ Kelulusan berdasrkan serangkaian tes-tes
untuk mengetahui tingkat ketrampilan dan pengetahuan
§ Permainan dan ketrampilan diberikan di luar
jam sekolah
§ Menghapus bidang studi pilihan dan
meningkatkan yang wajib
§ Menolak inovasi dan menekankan pada konsep
§ Program layanan sosial di sekolah menyita
waktu sekolah
§ Memasukkan “patriotirme” dan nasionalisme
di sekolah
Paradigma Pendidikan Indonesia
Sebelum
tanggal 2 Mei yang bertepatan Hari Pendidikan, beberapa minggu terakhir kita
disuguhi berita yang menarik dari bidang pendidikan. Mulai Putusan Mahkamah
Konstitusi Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 mengenai uji
materiil Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,
prestasi Indonesia sebagai juara umum International Conference of Young
Scientists (ICYS) ke-17 di Denpasar, Bali serta yang terakhir adalah hasil
Ujian Nasional.
Ini
juga dibarengi dengan peningkatan prestasi beberapa Universitas di Indonesia
yang masuk dalam 500 Universitas terbaik di dunia. Prestasi demi prestasi yang
diukir oleh anak bangsa tidak mempengaruhi kehidupan di Indonesia. Meningat
pendidikan sebagai lokomtif pembaharuan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
dikarenakan pendidikan kita yang masih berorientasi pada pasar. Bahkan karena
tuntutan pasar sering manusia mengabaikan moral terhadap sesama maupun pada
alam. Rumus yang berlaku adalah apa yang pasar inginkan maka banyak sekolah
maupun Perguruan Tinggi yang berlomba-lomba memberikan kurikulum kepada anak
didiknya. Penting kiranya melakukan perombakan paradigma dalam sistem
pendidikan kita demi menjadi bangsa yang cerdas dalam mengelola potensi daerahnya
masing-masing tanpa terprovokasi oleh pasar. Sehingga, masing-masing daerah
memaksimalkan potensinya masing-masing.
Seperti Apa Kondisi Pendidikan dan Manusia Indonesia?
Dalam
sebuah penelitian, diuangkapkan bahwa produktivitas manusia Indonesia begitu
rendah. Hal ini dikarenakan kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang
kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999).
Tentunya, hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down,
dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Dalam
sebuah seminar yang bertajuk “Seminar Nasional Kualitas Pendidikan dalam
Membangung Kualitas Bangsa” salah satu pembicaranya yakni Drs Engkoswara,
M.Pd.,dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, menegaskan bahwa,
memang dewasa ini, sepertinya pendidikan seakan mengalami kemajuan dengan
pertumbuhan sarjana, pascasarjana hingga doktor di berbagai bidang dan
munculnya gedung-gedung sekolah hingga perguruan tinggi yang cukup mewah.
Sayangnya, hingga kini pendidikan tidak bisa diakses secara merata oleh
penduduk Indonesia.
Seiring
dengan itu, tokoh cendikiawan muslim, Nurcholis Madjid mengakui bahwa, di
Amerika, Jepang dan negara-negara lain baik di Asia dan Eropa, perkembangan
pendidikan hampir merata. Sebab, anggaran yang dialokasikan ke pendidikan besar
dan berjalan lancar. Tentu saja, pendapat ini tidak begitu saja dilontarkan.
Menurutnya, paling tidak 65% penduduk Indonesia berpendidikan SD, bahkan tidak
tamat. Selain itu kualitas pendidikan di negara ini juga dinilai masih rendah
bila dibandingkan dengan negara lain. Tak heran jika Indonesia hanya menempati
urutan 102 dari 107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47 negara di Asia.
Cak
Nur –panggilan akrab sang profesor— menegaskan dalam laporan statistik,
penyandang gelar doktor (S3) di Indonesia sangat rendah. Dari satu juta
penduduknya, yang bergelar S3 (diraih secara prosedur) hanya 65 orang. Amerika
dari satu juta penduduknya, 6.500 orang bergelar S3, Israel 16.500, Perancis
5000, German 4.000, India 1.300 orang. Semua itu hasil dari pendidikan yang
bermutu. Bolehlah kita berkaca pada Korea Selatan. Negara ini memberikan
prioritas untuk majukan pendidikan. Pengadaan sandang, pangan dan papan perlu
tapi pembangunan pendidikan jangan sampai dianaktirikan. Kemajuan sebuah negara
sangat ditentukan tingkat pendidikan sumber daya manusianya. Contoh lainnya,
Malaysia yang pada tahun 1970-an, masih mengimpor tenaga pengajar dari
Indonesia. Kini, pendidikan di Malaysia jauh di atas Indonesia. Mengapa?
Pemerintahnya memberikan perhatian yang sangat serius. Tidak seperti di
Indonesia, pendidikan kurang diperhatikan
Pengenyahan Atas Nama Modernisasi
Modernisasi sering kali disalah tafsirkan dengan mengenyahkan kearifan lokal. Pendapat ini berawal dari modernisasi yang menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga memberikan gambaran bahwa modernisasi mengabaikan moralitas. Disinilah kearifan lokal perlu diajarkan dalam kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Membahas moralitas tidaklah selalu agama tetapi tiap-tiap daerah memiliki pandangan filosofis tentang kehidupan, hubungan sesama dan hubungan dengan alam. Dengan kurikulum ini menjadi seimbang antara intelektualitas dengan memperlakukan makhluk, karena perusakan baik fisik dan psikis alam serta sosial tidak seimbangnya hal tadi.
Modernisasi sering kali disalah tafsirkan dengan mengenyahkan kearifan lokal. Pendapat ini berawal dari modernisasi yang menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga memberikan gambaran bahwa modernisasi mengabaikan moralitas. Disinilah kearifan lokal perlu diajarkan dalam kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Membahas moralitas tidaklah selalu agama tetapi tiap-tiap daerah memiliki pandangan filosofis tentang kehidupan, hubungan sesama dan hubungan dengan alam. Dengan kurikulum ini menjadi seimbang antara intelektualitas dengan memperlakukan makhluk, karena perusakan baik fisik dan psikis alam serta sosial tidak seimbangnya hal tadi.
Ada kerinduan individu di Indonesia untuk kembali kepada nilai-nilai lama disebabkan kondisi riil saat ini yang jauh dari harapan. Dulu kita menganggap nenek moyang kita orang yang kolot dan kuno. Tetapi, sekarang kita tersadar bahwa apa yang diajarkan dan diturunkan melalui peribahasa, pantun maupun lagu mengandung makna serta pelajaran yang berhaga bagi kita, para penerusnya.
Perubahan Paradigma
Seiring dengan perubahan Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka perlu adanya perubahan pola pikir dan tindakan dari pelaksana Lembaga Pendidikan yang terkait Kepala Sekolah, Pengawas/Penilik dan Guru adapun tuntutan perubahan yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Dari Kurikulum yang berorientasi kepada tujuan ke Kurikulum yang Berbasis Kompetensi.
2. Dari Proses Pembelajaran yang teoriti ke pembelajaran yang praktis
3. Dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered)
4. Dari budaya mendengar ke budaya membaca, menganalisa dan mengerjakan.
5. Dari sistem kegiatan “kapur dan tutur” ke kegiatan alam bebas (auotbond activities)
6. Dari Orientasi Akademis ke Orientasi Total ( Akademis dan Non Akademis)
7. Dari Orientasi kecerdasan Intelektual ke kecerdasan ganda (Multiple Intelgent).
8. Dari Tekstual (Textual) ke kontekstual (Contextual Leaching and Learning) atau CTL.
9. Dari Manajemen Berbasis Kepala Sekolah ke Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
Seiring dengan perubahan Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka perlu adanya perubahan pola pikir dan tindakan dari pelaksana Lembaga Pendidikan yang terkait Kepala Sekolah, Pengawas/Penilik dan Guru adapun tuntutan perubahan yang diharapkan adalah sebagai berikut :
1. Dari Kurikulum yang berorientasi kepada tujuan ke Kurikulum yang Berbasis Kompetensi.
2. Dari Proses Pembelajaran yang teoriti ke pembelajaran yang praktis
3. Dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) ke pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered)
4. Dari budaya mendengar ke budaya membaca, menganalisa dan mengerjakan.
5. Dari sistem kegiatan “kapur dan tutur” ke kegiatan alam bebas (auotbond activities)
6. Dari Orientasi Akademis ke Orientasi Total ( Akademis dan Non Akademis)
7. Dari Orientasi kecerdasan Intelektual ke kecerdasan ganda (Multiple Intelgent).
8. Dari Tekstual (Textual) ke kontekstual (Contextual Leaching and Learning) atau CTL.
9. Dari Manajemen Berbasis Kepala Sekolah ke Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
10. Dari Sekolah
sebagai menara gading ke Sekolah sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan masyarakat dan masih banyak perubahan-perubahan lainnya.
E. Standar Kompetensi Guru
Sebagai tolak ukur kemampuan profesional guru dalam proses pembelajaran yang harus dimiliki adalah :
1. Pengelolaan Pembelajaran
a. Mampu menyusun Program Pembelajaran
b. Mampu mengadakan interaksi dengan siswa
c. Mampu mengevaluasi hasil pembelajaran
d. Mampu menindaklanjuti hasil evaluasi pembelajaran
e. Mampu melaksanakan bimbingan belajar siswa
2. Pengembangan Profesi
a. Mampu mengadakan penelitian tindakan kelas
b. Mampu mengadakan inovasi pendidikan
3. Penguasaan Akademik
a. Memahami wawasan kependidikan
b. Menguasai bahan kajian yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2145735-perubahan-paradigma-pendidikan-indonesia/#ixzz1tLBDQ9mK
E. Standar Kompetensi Guru
Sebagai tolak ukur kemampuan profesional guru dalam proses pembelajaran yang harus dimiliki adalah :
1. Pengelolaan Pembelajaran
a. Mampu menyusun Program Pembelajaran
b. Mampu mengadakan interaksi dengan siswa
c. Mampu mengevaluasi hasil pembelajaran
d. Mampu menindaklanjuti hasil evaluasi pembelajaran
e. Mampu melaksanakan bimbingan belajar siswa
2. Pengembangan Profesi
a. Mampu mengadakan penelitian tindakan kelas
b. Mampu mengadakan inovasi pendidikan
3. Penguasaan Akademik
a. Memahami wawasan kependidikan
b. Menguasai bahan kajian yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2145735-perubahan-paradigma-pendidikan-indonesia/#ixzz1tLBDQ9mK
Browsing
articles tagged with " paradigma pendidikan indonesia"
Paradigma Pendidikan di Negeri Ini
Jika kita membahas pendidikan, tentu kita
ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada
tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan
Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah
menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa
luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu
pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang
dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini
terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua
negara tersebut.
Ada
sebuah ungkapan menarik tentang lingkup pendidikan, ”knowledge
is power, but character is more”. Inilah
yang telah diterapkan di banyak negara maju. Sebagai contoh, untuk sebuah
pelajaran seni, Amerika memberikan penilaian yang bersifat afektif
yakni good, excellent dan perfect.
Mengapa demikian? Itu disebabkan ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada
sang murid, yakni menghargai perbedaan persepsi, kreativitas dan kebebasan
berekspresi. Lain halnya dengan di negeri ini yang lebih senang menggunakan
angka dengan rentang antara 0-100 saat memberikan penilaian. Akibatnya, jika
anda meminta satu kelas siswa sekolah untuk menggambar, maka setengahnya akan
menggambar dua buah gunung yang mengapit matahari di tengahnya, dan
ditambah laut atau sawah. Tidak heran, karena mindset mereka
adalah guru mereka akan memberi nilai dari bagusnya gambar, bukan dari kreasi
atau inovasi yang bisa mereka hasilkan.
Contoh
lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup
menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib,
yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang
disesuaikan dengan cita-cita masing-masing. Bagi yang ingin menjadi dokter
silahkan mengambil pelajaran Kimia dan Biologi, bagi penyuka Fisika dan Kimia
akan diarahkan menjadi engineer,
sedangkan pencinta ilmu ekonomi bisa mengambil Statistik dan Akuntansi.
Dengan menerapkan sistem pendidikan semacam
ini, siswa di Selandia Baru akan belajar sesuai minatnya, dan hasilnya negara
kecil ini bisa menjadi penghasil susu dan makanan terbaik di dunia. Bagaimana
dengan Indonesia? Siswa SMA di sini “diharuskan” menjadi manusia super yang
menguasai seluruh ilmu, baik sains, sosial dan juga bahasa. Ya, mereka memang
mempelajarinya namun tidak banyak yang bisa mengaplikasikan ilmu yang telah
didapat. Hal ini bisa dilihat dari lulusan SMA yang bisa dikatakan tidak
memiliki kemampuan untuk bekerja.
Sebagai perbandingan lain, siswa SMA di
Amerika mempelajari teori integral dengan sederhana lalu dilanjutkan dengan
pemahaman aplikatif dan studi kasus. Berbeda dengan disini dimana hampir semua
teori kalkulus universitas diberikan dan walhasil mereka bisa menyelesaikan
berbagai jenis tipe soal namun tidak mengerti bagaimana memanfaatkan ilmu
tersebut selain agar nilai mereka diatas 80.
Dari
kasus diatas, dapat kita simpulkan bahwa kesalahan pendidikan di indonesia
terletak pada paradigma terhadap pendidikan itu sendiri, terutama oleh
pemerintah. Hal ini tercermin pada beberapa hal. Pertama,
hampir semua proses pendidikan hanya dinilai oleh angka dan indikator lain yang
tidak mampu memandang perkembangan peserta didik. Kedua,
proses pendidikan hanya berupa perpindahan materi buku ke otak siswa secara
kognitif tanpa memahami esensi dan makna filosofis ilmu tersebut. Selanjutnya,
pembentukan pola pikir tetapi melupakan pembangunan karakter dan penanaman
nilai sehingga banyak sekali koruptor cerdas di negeri ini. Ketiga,
sistem pendidikan kita belum mampu mengakomodir perbedaan potensi dan kemampuan
setiap individu anak bangsa ini.
Di
masa mendatang, diharapkan kepada para pengambil kebijakan, guru dan stakeholder pendidikan
lainnya seperti orang tua dan LSM, agar bisa fokus untuk memperbaiki kesalahan
paradigma tentang pendidikan yang terjadi di neger ini serta turunan
masalahnya. Tidak lain hal ini bertujuan agar nasib bangsa ini lebih baik dan
bermartabat.
PENDAHULUAN
Berangkat dari defenisi “Pendidikan” adalah sebuah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, maka jelas dapat
kita kerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu mencerdaskan manusia. Cerdas yang
memiliki defenisi sempurna perkembangan akal budinya. Indonesia pun tak
muluk-muluk mencantumkannya di dalam pembukaan UUD 1945 bahwa salah satu tujuan
pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lantas bagaimana
perkembangannya setelah lebih dari 60 tahun berjalan ?
Bermacam tokoh dan pengamat pendidikan telah berusaha
menyumbangkan ide dan gagasannya untuk pendidikan Indonesia. Di dalam buku
“Menggagas Paradigma Baru Pendidikan” dengan editor Sindhunata, yang berisi
kumpulan tulisan dan opini dari berbagai tokoh pendidikan, disebutkan tentang
paradigma lama dan baru pendidikan :
Paradigma
lama, “Pendidikan adalah tanggung jawab sekolah dan para pengelola institusi
pendidikan. Lepas tanggung jawab macam ini akhirnya membuat pendidikan kita
remuk dan tak mempunyai masa depan”
Paradigma baru, “pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan anggota masyarakat bersama-sama memikul tanggung jawab pendidikan anak-anaknya”
Paradigma baru, “pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan anggota masyarakat bersama-sama memikul tanggung jawab pendidikan anak-anaknya”
Seperti yang kita lihat, semakin lama pendidikan Indonesia semakin
tidak jelas arahnya. Kita dapat melihat dari lingkungan kita sendiri, bahwa
saat ini anak-anak sekolah seakan seperti “terpaksa” untuk mengikuti perhelatan
pendidikan. Yang ada hanyalah ketakutan, keterpaksaan, atau bisa jadi hanya
rutinitas belaka tanpa semangat untuk menjadi cerdas. Demikian pula sistem
perkuliahan di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut menjadi serba cepat tetapi
tidak tepat. Tidak semua memang, tetapi pada umumnya demikian. Diakui bahwa
sistem pendidikan dahulu dan sekarang sudah jauh berubah, tetapi itu adalah
sesuatu yang memang harus dilakukan karena berbedanya kebutuhan dan keadaan
zaman. Dan sekarang pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan pendidikan yang
berkualitas, yang mampu menjadikan generasi penerus bangsa yang berkualitas
pula? Apa sajakah yang perlu diberdayakan agar tercipta kegiatan pendidikan
yang efektif dan efisien?
PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA PERSPEKTIF MANAJEMEN PENDIDIKAN
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang
membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan
membentuk citra subyektif seseorang—mengenai realita—dan akhirnya akan
menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu. Paradigma merupakan
istilah yang dipopulerkan Thomas Khun dalam karyanya The Structure of
Scientific Revolution (Chicago: The Univesity of Chicago Prerss, 1970).
Paradigma di sini diartikan Khun sebagai kerangka referensi atau pandangan
dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Pemikir lain
seperti Patton (1975) mendefinisikan pengertian paradigma hampir sama dengan
Khun, yaitu sebagai “a world view, a general perspective, a way of breaking
down of the complexity of the real world [suatu pandangan dunia, suatu cara
pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata].”
Kemudian Robert Friedrichs (1970) mempertegas definisi tersebut sebagai suatu
pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George
Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari
oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan
Dalam dunia pendidikan, Indonesia mempunyai dua paradigma, yaitu
paradigma lama dan paradigma baru Nasional. Paradigma lama pendidikan Nasional
adalah suatu sistem yang sifatnya tertutup dan sentralistik, jadi semua
aktivitas warga negara diatur oleh pusat. Paradigma ini tidak relevan lagi
sehingga pada tahun 2000 muncul paradigma baru.Pardigma baru pendidkan Nasional
merupakan suatu sistem yang terbuka, tidak terpacu pada pusat saja tetapi
melalui pimpinan daerah-daerah di seluruh Indonesia.
PENDIDIKAN
SETRALISTIK
Pendidikan Sentralistik adalah pendidikan yang sistem manajemennya
masih berpusat pada pemerintah. Jadi, konsep sentralisasi menekankan
pemusatan pengurusan pendidikan. Artinya segala hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan diurus oleh organisasi pendidikan tingkat pusat.
Kurikulum pendidikan, prasarana da sarana pendidikan, ketenagaan pendidikan,
serta peraturan peraturan pendukungnya semua ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Daerah hanya sekedar menjalankan keputusan – keputusan yang berasal dari
pusat. Dengan demikian, kreativitas dan ruang gerak inovasi menjadi
hilang karena segala sesuatu telah ditentukan oleh pemerintah, Sehingga apa
yang diinginkan daerah (lembaga pendidikan) tidak tercapai karena sifat yang
sentralistik tersebut. Hasilnya adalah jumlah out-put banyak namun itu menambah
pengangguran yang banyak pula.
Kondisi bangsa yang semakin terpuruk dalam berbagai dimensi
kehidupan yang ditandai dengan krisis ekonomi serta krisis multi dimensi membuat
masyarakat Indonesia tidak sanggup menangggung beban hidup yang semakin
menghimpit. Berbagai persoalan hidup bermunculan seperti kemiskinan,
pengangguran, bencana alam, kriminalitas, harga bahan pokok semakin melonjak,
serta biaya pendidikan yang semakin tinggi. . Setelah merdeka, bebas dari
penjajahan, pembangunan Indonesia dimulai melalui tiga periode : 1956-1965 di
bawah pemerintahan presiden Soekarno, 1967-1997 di bawah pemerintahan orde baru
Suharto, dan periode reformasi sekarang yang belum jelas hasil-hasil
pembangunannya.
Daerah-daerah mulai berani menuntut haknya, yakni otonomi daerah.
Mereka melihat bahwa sitem sentralistik yang yang selama ini dijalankan tidak
berhasil membawa Indonesia kea rah yang lebih baik. Pembangunan lebih banyak di
pusat atau daerah tertentu sedangkan daerah penghasil devisa besar justru
terbelakang.
Berbagai desakan dilakukan oleh daerah termasuk mengancam keluar
dari NKRI jika tuntutan mereka tidak dipenuhi., Akhirnya UU otonomi daerah oleh
pemerintah dan DPR disepakati untuk disyahkan maka pada tahun 1999 yaituUU No
22/1999.Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka wewenang untuk mengurus
daerah sendiri mulai dirancang oleh masing-masing daerah.
Kelebihan
dan kekurangan sentralistik pendidikan
Menurut Dr Nanang Fatah dalam bukunya landasan manajemen
pendidikan 2004 mengutip
Kelebihan
sistem sentralistik adalah:
·
Memperkuat
rasa kebangsaan
·
Meningkatkan
kohesi nasional
·
Memperkuat
wibawa pemerintahan
·
Mudah
disepakati konsensus kesepakatan
·
Sangat
membantu dalm perluasan kesempatan belajar dan mudah mengadakan inovasi.
Kelemahan
sistem sentralistik adalah:
·
Perintah
menuggu dari atasan, sehingga praktisi pendidikan yang ada
didaerah tidak mampu berkreasi,
berinovasi dan mengembangkan budaya daerahnya.
Organisasi kuat tetapi kaku.
Organisasi kuat tetapi kaku.
·
Kualitas
manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
·
Melemahnya
kebudayaan daerah.
Pengalaman di negeri ini maupun pengalaman di negara lain
membuktikan, pengelolaan sekolah yang terlampau diatur dari pusat ternyata
tidak efektif dan efisien dalam memajukan pendidikan. Pengalaman di negeri ini
juga membuktikan bahwa sejumlah sekolah dapat menunjukkan kemajuan signifikan
bila diberi kesempatan untuk mendefinisikan sendiri perannya. Sistem pendidikan
yang terlalu diatur oleh pusat sangat mematikan kreatifitas tidak dapat
berinovasi dalam menggali potensi yang ada didaerah. Demokrasi dan
bhinekatunggalika seolah – olah terpasung oleh pemerintahan yang kaku dan
sentralistik.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik,
makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang
memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja
dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memeliki
keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat
sulit untuk di wujudkan.
PENDIDIKAN
DESENTRALISTIK
Desentralisasi merupakan seperangkat proses yang bertujuan untuk
menyerahkan tanggung jawab dari wewenang pengambilan keputusan terhadap
beberapa fungsi spesifik, dari level tertinggi hingga level terendah, baik
dalam konteks pemerintahan maupun organisasi lain.
Dalam konteks pendidikan desentralisasi bermakna seperangkat
proses yang bersifat kompleks, berhubungan dengan perubahan sistem pengambilan
keputusan dalam satuan pendidikan, pendapatan, pengeluaran biaya pendidikan,
pengembangan kapasitas guru, rancangan kurikulum dan pengelolaan
sekolah.Desentralisasi pendidikan lahir dari landasan pemikiran dan perdebatan
yang melingkupinya sehingga dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan
pendidikan di Indonesia.
Konsep
Desentralisasi Pendidikan
Dasarnya terletak pada empat level, yaitu :
1.
Pemerintah
pusat
2.
Pemerintah
daerah provinsi
3.
Pemerintah
daerah kabupaten
4.
Pemerintahan
di sekolah
Desentralisasi bersifat administratif, yaitu kekuasaan tetap
berada pada level pemesintah pusat, sedang pengalihan tanggung jawab serta
wewenang dalam perencanaan pendidikan di Indonesia.
Dalam perpekstif manajemen, desentralisasi pendidikan yang
bersifat administrasi dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak
positif :
Jika dalam sistem centralisasi, mekanisme implimentasi kebijakan
dilakukan dipusat dengan melibatkan unsur birokrasi yang lamban dan gemuk.Dalam
sistem desentralisasi kebijakan menjadi dilakukan dengan cepat oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat.
Motivasi untuk meningkatkan produktivitas akan bisa dirasakan para
pengelola pendidikan di daerah, karena desentralisasi pendidikan merangsang
prakarsa, proaktif pengelola pendidikan dalam menjalankan pendidikan
didaerahnya.
Dampak
negatif :
Dalam beberapa kasus dalam kebijakan desentralisasi, wewenang
pemerintah daerah terhadap pengelola keuangan daerah dirasa begitu
besar.Implikasinya, pembangunan dan investasi bidang pendidikan didaerah
sangat tergantung pada visi besar pembangunan pemerintah daerah itu
sendiri.Maka menjadi kerugian bila pemerintah didaerah lebih mengutamakan
keuntungan pembangunan jangka pendek.Infrastruktur jalan dan irigasi ketimbang
investasi jangka panjang seperti pendidikan (Paque&Lamert 2009).
Faktor yang mempengaruhi desentralisasi pendidikan di Indonesia :
·
Pembiyaan
pendidikan
·
Peningkatan
efisiensi & efektivitas
·
Redistribusi
kekuasaan
·
Peningkatan
mutu pendidikan
·
Peningkatan
motivasi (Winkler, 1999).
Kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia mengalami
lompatan pendekatan setelah adanya reformasi.Setelah lama menjalankan pola
sentralisasi pembangunan dan menggunakan pendekatan desentralisasi sesuai UU
No.22 dan UU No.25 tahun 1999, kebijakan desentralisasi pendidikan mulai
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan devolusi.
Desentralisasi pendidikan saat ini diikuti juga penyerahan dana
yang disalurkan melalui dana alokasi umum (DAU) yang besarny didasarkan atas
perimbangan pendapatan dari pertambangan dan kehutanan, jumlah panduduk dan
luar daerah. Berdasar perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah , sekitar
30% dari perkapita yang cukup, sehingga APBDnya dapat membiayai pendidikan
dengan baik.Tetapi sisanya memperoleh pendapatan dari DAU yang terbatas
sedangkan PADnya kecil, maka dana pendidikan yang dapat disediakan melalui APBD
terbatas, bahkan sebagian hanya bisa untuk membiayai gaji guru (Word Bank,
2003).
Harus diakui bahwa masih ada kesenjangan antara paradigma
desentralisasi pendidikan yan g ideal & penerapan desentralisasi pendidikan
di lapangan. Apabila tidak di antisipasi, dampaknya akan meluas dibidang lain,
seperti melebarnya jurang perbedaan mutu pendidikan inefiensi manajemen
pendidikan, semakin lebarnya kesenjangan kesempatan memperoleh pendidikandan
berkurangnya kesempatan subsidi silang.
Empat
Indikator Sistem Pendidikan di Indonesia
1.
Popularisasi
Pendidikan
2.
Sistematisasi
Pendidikan
3.
Ploliferasi
Pendidikan
4.
Politisasi
Pendidikan
Popularisasi
Pendidikan
Kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang baik bukan hanya
dirasakan oleh negara-negara berkembang tetapi juga oleh negara-negara maju.
Melihat pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat
dilahirkanlah konsep pengembangan sumber daya manusia yang dianggap sangat
penting di samping adanya sumber-sumber daya alamiah.
Sistematisasi
Pendidikan
Dengan dalih untuk meningkatkan mutu dan standar pendidikan
nasional maka diadakanlah berbagai usaha dan peraturan
0 komentar:
Posting Komentar